Pesantren Sarang Terorisme?
Oleh: Ahmad Izzuddin HMR
BERITA dan opini terorisme, baik di media massa cetak maupun elektronik, akhir-akhir ini selalu melekat dengan komunitas pondok pesantren. Terlebih lagi pasca-tragedi peledakan bom di Bali (Sabtu, 12/10/2002) malam hari yang menimbulkan ratusan jiwa manusia tak bersalah meninggal dunia dan luka-luka.
Dengan ditangkapnya Amrozi, seorang "santri" laki-laki yang lugu dari desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, sebagai orang yang diduga menjadi pelaku pemboman tersebut. Apalagi pimpinan pondok pesantren Al-Islam Solokuro Lamongan Jawa Timur (Ust Zakaria) menyatakan dengan yakin bahwa Amrozi sebagai salah satu pelaku peledakan bom di Bali tersebut (Media Indonesia, 13/11/2002).
Bahkan dalam perkembangan terakhir, Ja'far Shidiq, saudara Amrozi juga ditangkap. Ali Imron, saudara Amrozi juga menjadi buronan aparat keamanan Sebelumnya sudah muncul ke permukaan bahwa Abu Bakar Ba'asyir, pimpinan pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo adalah seorang kai yang diduga terlibat dalam pengeboman tersebut. Bahkan diduga sebagai pembawa jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang selama ini dituding Amerika Serikat sebagai sarang terorisme.
Isu Terorisme
Dengan adanya fenomena "obok-obok" pondok pesantren dengan tuduhan adanya pelaku pengeboman di Bali maka terkesan pondok pesantren sebagai sarang teorisme. Benarkah demikian?
Isu teroris memang sempat mengusik perhatian semua kalangan, termasuk para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat. Sebagaimana terbentuknya gerakan moral nasional sebagai sebuah forum yang mereka bentuk dalam upaya mendukung upaya pemerintah memerangi terorisme di Tanah Air tercinta ini.
Begitu pula pemerintah, juga terkesan mengalami keterkejutan politik dengan munculnya isu adanya sarang terorisme di Indonesia, terutama pascatragedi pengeboman di Bali. Indikator keterkejutan ini dengan keluar secara mendadak dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang secara khusus ditujukan untuk mengungkap tragedi pengeboman di Bali dan RUU terorisme serta RUU tentang pengesahan UU Antiterorisme.
Salah satu alasan dikeluarkannya perpu, karena peraturan perundang-undangan yang ada belum efektif dijadikan instrumen untuk mengungkap jaringan terorisme yang cukup rumit dan berliku cara kerjanya. Apalagi bila terkait dengan terorisme internasional.
Penerbitan perpu sebetulnya tidak jadi soal asal saja memenuhi kriteria "keadaan genting yang memaksa" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945. Namun banyak kalangan yang menyoal penerapan asa retroaktif yang dinilai bertentangan dengan asas umum dalam hukum pidana bahwa tidak seorang pun dapat dipidana tanpa didahului oleh peraturan yang melarang perbuatan tersebut (pasal 1 ayat 1 KUHPidana).
Jangan sampai perpu itu diterapkan secara otoriter dengan menafsirkan perbuatan teroris berdasarkan kepentingan penguasa untuk membungkam gerakan demokratisasi dan aktivitas Islam garis keras, seperti penerapan UU subversi di masa Orde Baru. Mestinya pemerintah harus bisa meyakinkan masyarakat, perpu ini bukan reinkarnasi UU Subversi, terutama dalam dataran aplikasinya, jangan sampai menimbulkan keresahan baru bagi pejuang demokrasi dan penegakan supremasi hukum.
Itulah kiranya kesan opini publik terhadap mendadaknya prosesi naskah empat Rancangan Undang-undang tentang terorisme yakni dua tentang pengesahan Perpu No 1 dan Perpu No 2 tentang terorisme, satu RUU terorisme dan satu RUU tentang pengesahan UU Antiterorisme yang segera diajukan ke DPR untuk dibahas.
Tantangan Islam Indonesia
Islam di Indonesia akhir-akhir ini memang baru menjadi sorotan dunia. Apalagi sejak menjamur-suburnya organisasi kemasyarakatan Islam garis keras dalam bentuk institusi-institusi, semacam Jama'ah Ahli Sunnah wal Jama'ah dan Hizbut Tahrir. Ada Jamaah Al-Islamiyah yang selama ini dituduh sebagai sarang teroris. Di samping juga tumbuh subur partai-partai politik Islam di Indonesia.
Padahal dulu Islam di Indonesia sangat terkenal sebagai Islam yang ramah, Islam yang toleran dan Islam yang damai. Di zaman Orde Baru, Islam dengan tidak diberlakukannya hukum Islam secara tersurat dalam hukum nasional memang terkesan dimarginalkan.
Walaupun pada dasarnya oleh pakar keislaman semacam Gus Dur yang mengikuti aliran Substansionalis-Kontekstualis Islam, memang demikian yang diharapkan, yakni tidak perlu hukum Islam tersurat secara tekstual dalam pemberlakuan hukum nasional. Namun yang penting nilai-nilai moral hukum Islam sudah tersirat di dalamnya dengan konsep nilai Islam sebagai agama pembawa rahmah.
Lain halnya sejak runtuhnya Orde Baru dengan dibuka lebar-lebar kran demokrasi, dengan berdalih Islam sebagai agama yang mayoritas dianut oleh penduduk Indonesia, muncul wacana pemberlakuan secara tersurat dan tekstual hukum Islam dalam hukum nasional, yang disinyalir lambat laun akan menjadi embrio kemunculan negara Islam di Indonesia?
Kecurigaan ini tampaknya tidak tanpa alasan, jika melihat begitu menjamurnya partai-partai politik yang berlabel Islam dan banyaknya organisasi kemasyarakatan Islam aliran formalitas-tekstualis. Menurut Ahmad Gaus (Ketua Program Penerbitan Paramadina), saat ini memang harus diakui, Islam di Indonesia baru mengalami kebangkitan intelektual muslim atau yang sering disebut Moslem Intellectual Booming.
Ini mungkin yang dikhawatirkan oleh "wakil dunia" Amerika Serikat akan kebesaran Islam khususnya Islam di Indonesia, sehingga sejak awal-awal munculnya isu teroris pasca tragedi pemboman di Amerika Serikat dan pratragedi pemboman di Bali, seringkali terjadi kontak "pengintaian" terhadap Islam di Indonesia dengan mengadakan pertemuan dengan pemuka Islam Indonesia.
Oleh karenanya, opini publik menyatakan peledakan bom di Bali seolah-olah menjadi saksi sekaligus boom waktu pembuktian oleh tuduhan Amerika Serikat bahwa di Indonesia memang benar-benar ada sarang terorisme.
Sampai sekarang yang membuat penulis heran adalah mana bukti kepedulian - bukti simpatik perhatian - bukti bela sungkawa dari sesama muslim dunia terhadap "cobaan" terhadap Islam Indonesia?
Pesantren: Sarang Teroris?
Sejak Hambali dan Umar al-Faruq yang dituduh teroris oleh Amerika Serikat, mengaku pernah ada hubungan dengan Ustad Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo . Dalam waktu tak lama, pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo menjadi "obok-obok" wacana sarang terorisme. Bahkan dengan adanya unsur paksaan pada waktu polisi membawa Ustaz Abu Bakar Ba'asyir ketika sedang sakit di rumah sakit di Solo untuk dipindah ke Jakarta, terkesan adanya tuduhan sebagai sarang terorisme adalah tidak keliru yakni memang benar.
Begitu pula terhadap pondok pesantren Al-Islam Solokuro Lamongan Jawa Timur yang ketepatan diasuh oleh mantan santri pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo juga "diobok-obok" wacana sarang terorisme, walaupun Ustaz Zakaria sebagai wakil pimpinan pondok pesantren Al-Islam mengatakan bahwa Amrozi tidak ada kaitan dengan pondok pesantren tersebut.
Fenomena yang demikianlah yang menjadikan pondok pesantren terdistorsikan identik sebagai sarang terorisme. Padahal secara realistis konkret antara terorisme dan pondok pesantren adalah dua hal yang sangat bertolak belakang. Karena pondok pesantren selama ini selalu identik dengan nilai-nilai moralitas dan keberadabannya, sedangkan terorisme identik dengan kekerasan dan ketidakbiadabannya.
Pendistorsian pondok pesantren sebagai sarang terorisme kiranya sangat mengusik eksistensinya ke depan yang selama ini dikenal sebagai sarang kader pemimpin umat dan pemimpin bangsa yang beradab.(18)
-Ahmad Izzuddin HMR, M Ag,Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo , Pengasuh Pondok Pesantren Daarun Najaah Jrakah Tugu Semarang
0 komentar:
Posting Komentar